Beberapa waktu yang lalu, salah satu media cetak memberitakan tentang dugaan terjadinya pencabulan oleh seorang dukun kepada keponakannya. Dan bukan yang pertama kali peristiwa serupa terjadi disekitar kita dan ironisnya para pelaku pelecehan seksual jarang yang terjerat oleh hukum bahkan sampai dipidanakan. Padahal walaupun dalam mediasi sang dukun tidak mengakui namun dirinya bersedia memberikan kompensasi sepuluh juta rupiah, secara tidak langsung diluar kesadarannya ia telah mengakui perbuatannya. Oleh sebab itu melalui tulisan ini saya mencoba memberikan pencerahan kepada para penegak hukum, praktisi hukum dan teman-teman yang ahli di bidang hukum yang barang kali selama ini ada yang terlupakan.
Kejadian seperti tersebut diatas, merupakan pelanggaran etika kesusilaan atau lebih popular disebut "Pelecehan Seksual", yang dilakukan oleh sang dukun terhadap keponakannya atau terhadap orang lain, Hal-hal demikian sangat banyak terjadi di dalam masyarakat, namun memang selama ini tidak terungkap kepermukaan karena berbagai hal serta alasan dari si korban maupun pelaku kejadian tersebut. Sebetulnya mengapa hal tersebut bisa luput dari pemberitaan maupun ancaman hukuman?
Ketika kita membahas tentang Pelecehan Seksual maka hal yang langsung terkait disini adalah etika dan moralitas, kejadian antara sang dukun dan keponakannya adalah masalah yang sangat mudah menyulut kemarahan dan dapat diproses secara hukum kemudian diadili. akan tetapi karena hukum yang khusus (Lex Spesialis) terkait dengan kesopanan setahu saya belum ada, maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara umum (Lex Generalis) dapat dijadikan landasan dengan ancaman hukuman seperti yang diatur dalam Pasal 281-299 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Kejahatan terhadap Kesopanan kemudian dapat diangkat kepermukaan menjadi perkara di pengadilan.