Home » » PELAKU PELECEHAN SEKSUAL DAPAT DIHUKUM?

PELAKU PELECEHAN SEKSUAL DAPAT DIHUKUM?

Beberapa waktu yang lalu, salah satu media cetak memberitakan tentang dugaan terjadinya pencabulan oleh seorang dukun kepada keponakannya. Dan bukan yang pertama kali peristiwa serupa  terjadi disekitar kita dan ironisnya para pelaku pelecehan seksual jarang yang terjerat oleh hukum bahkan sampai dipidanakan. Padahal walaupun dalam mediasi sang dukun tidak mengakui namun dirinya bersedia memberikan kompensasi sepuluh juta rupiah, secara tidak langsung diluar kesadarannya ia telah mengakui perbuatannya. Oleh sebab itu melalui tulisan ini saya mencoba memberikan pencerahan kepada para penegak hukum, praktisi hukum dan teman-teman yang ahli di bidang hukum yang barang kali selama ini ada yang terlupakan.
Kejadian seperti tersebut diatas,  merupakan pelanggaran etika kesusilaan atau lebih popular disebut "Pelecehan Seksual", yang dilakukan oleh sang dukun terhadap keponakannya atau terhadap orang lain, Hal-hal demikian sangat banyak terjadi di dalam masyarakat, namun memang selama ini tidak terungkap kepermukaan karena berbagai hal serta alasan dari si korban maupun pelaku kejadian tersebut. Sebetulnya mengapa hal tersebut bisa luput dari pemberitaan maupun ancaman hukuman?
Ketika kita membahas tentang Pelecehan Seksual maka hal yang langsung terkait disini adalah etika dan moralitas, kejadian antara sang dukun dan keponakannya adalah masalah yang sangat mudah menyulut kemarahan dan dapat diproses secara hukum kemudian diadili. akan tetapi karena hukum yang khusus (Lex Spesialis) terkait dengan kesopanan setahu saya belum ada, maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara umum (Lex Generalis) dapat dijadikan landasan dengan ancaman hukuman seperti yang diatur dalam Pasal 281-299 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Kejahatan terhadap Kesopanan kemudian dapat diangkat kepermukaan menjadi perkara di pengadilan.


Pelecehan Seksual sendiri sebenarnya kejahatan yang cukup berat karena dapat diancam mulai dari hukuman dua tahun delapan bulan atau denda (Pasal 281, KUHP), hingga yang sangat berat Ancaman hukumannya bila pelecehan menjadi pemerkosaan (dua belas tahun penjara), sesuai Pasal 285 KUHP. Pelecehan seksual menurut beberapa ahli hukum di sebut sebagai tindakan coba-coba yang kebablasan saja, karena bila tidak ada protes dari subyek, maka perbuatan tersebut menjadi "Suka Sama Suka" dan berujung menjadi happy ending (perselingkuhan), walaupun dilakukan oleh sepasang insan manusia yang tidak semestinya melakukan. Apabila pelecehan seksual terjadi di dalam kehidupan suami istri, maka akan timbul ancaman hukum seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana menghindar dari tindakan pelecehan seksual, bagaimana mencegahnya serta bagaimana menuntutnya, bila kita mengaalami hal tersebut.
I. ANCAMAN HUKUM PELAKU PELECEHAN SEKSUAL
Seperti telah disinggung diatas bahwa pelecehan terjadi apabila seorang wanita menganggap tindakan, baik perlakuan serta ucapan maupun isyarat tubuh si pelaku dianggap telah melanggar kesopanan dan yang terpenting sebagai seorang wanita tidak menghendaki perlakuan si pelaku tersebut, maka apabila pelecehan terjadi, perbuatan tersebut dapat diancam dengan ancaman hukuman seperti yang terdapat dalam Pasal-pasal berikut ini:
1.        Pencabulan, diancam dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 289, 296;
2.        Penghubungan Pencabulan KUHP pasal 295, 298, 506;
3.        Kejahatan terhadap Kesopanan KUHP Pasal 281 - 299, 532, 533, dan lain-lain.

II. MASALAH PENEGAKAN HUKUM PELAKU PELECEHAN SEKSUAL
Seperti tindakan kejahatan lainnya, maka sebetulnya untuk dapat menyeret si pelaku pelecehan seksual tersebut diperlukan syarat-syarat tertentu, agar si pelaku dapat diadili sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yaitu seperti terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1, sebagai berikut:
1.      Adanya Saksi, sekurang-kurangnya 2 (dua) orang;
2.      Keterangan Ahli/Saksi Ahli;
3.      Surat/Dakwaan;
4.      Petunjuk;
5.      Dan Keterangan Terdakwa.

Melihat dari isi pasal di atas, maka kesulitan yang terutama dalam kasus pelecehan seksual adalah menghadirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dalam proses perkara tersebut, karena umumnya perlakuan melecehkan seseorang dilakukan dalam lingkungan tertutup dan terbatas, atau kalaupun terbuka hanya sedikit oang yang mau dijadikan saksi atas kejadian tersebut, sehingga masalah pelecehan seksual seringkali mengakibatkan kerugian bagi wanita dari pada si pelaku, bahkan tidak jarang karena tekanan tertentu, maka perbuatan pelecehan menjadi perbuatan perselingkuhan yang ahirnya menyeret kedua insan tersebut kedalam pelaku perzinahan, dengan demikian apabila hal ini terjadi sudah barang tentu ancaman Pasal-pasal diatas,lebih sulit lagi diungkapkan untuk diseret ke meja hijau.

III. KEWENANGAN POLISI
Dalam Pasal 108, Ayat 1, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatakan: 
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyelidik dan atau Penyidik baik lisan maupun tertulis. 
Isi pasal ini mengandung arti bahwa bila seseorang mengalami, menyaksikan dan atau menjadi korban suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, maka mengadukan atau melaporkan hal tersebut merupakan hak, bukan kewajiban, dengan demikian tindakan hukum terhadap pelaku pelecehan kalau tidak dilaporkan, maka Polisi atau Penyidik tidak dapat memprosesnya menjadi suatu perkara pidana, kecuali perbuatan tersebut diketahui atau ketangkap tangan oleh petugas yang berhak, maka menjadi kewenangan petugas untuk memproses perkara itu (Pasal 111, Ayat 1, KUHAP). Peristiwa pelecehan seksual tanpa laporan dan ketangkap tangan, maka kewenangan hanya ada dilingkungan peristiwa tersebut terjadi.


Mengenai peristiwa yang terjadi antara sang dukun dengan keponakannya,  menurut kami, dapat dilaporkan ke polisi atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan. Kemungkinan pelakunya bisa dijerat  Pasal 335 ayat (1) KUHP  yang rumusannya sebagai berikut:
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 4.500:
Ke-1:  barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain.

Menurut R. Soesilo dalam buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” (hal. 238), yang harus dibuktikan dalam pasal ini ialah adanya orang yang dipaksa secara melawan hak untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu berlawanan dengan kehendaknya sendiri. Pemaksaan itu bisa dilakukan melalui kekerasan, ancaman kekerasan, perbuatan tidak menyenangkan, atau ancaman perbuatan tidak menyenangkan.

Dalam kasus yang menimpa Melati (20) warga Desa Wonokerto wetan, yang diduga telah menjadi korban kebuasan nafsu bejad seorang dukun kampung Desa Api-api berinisial C (55) selama kurang lebih satu tahun seperti yang telah diberitakan di Koran Radar beberapa minggu yang lalu, dapat dikategorikan sebagai pemaksaan dengan perbuatan tidak menyenangkan. SMS yang diterima di HP Melati, bukti surat keterangan suntik KB serta sang dukun mau memberikan kompensasi sebesar sepuluh juta rupiah, sudah dapat dipakai sebagai bukti permulaan yang cukup untuk mengindikasikan adanya tindak pidana tersebut. Meski demikian, kita perlu memperkuat dengan alat bukti lain. Jika ditemukan hal-hal yang dapat memperkuat tuduhan terhadap orang tersebut, maka perlu menyampaikannya juga kepada polisi.

Pada praktiknya, penerapan Pasal 335 KUHP oleh Mahkamah Agung (“MA”) menekankan pada penafsiran terhadap “unsur paksaan” sebagai unsur utama yang harus ada dalam rangkaian perbuatan yang tidak menyenangkan. Unsur paksaan, menurut MA, tidak selalu diterjemahkan dalam bentuk paksan fisik, tapi dapat pula dalam bentuk paksaan psikis.
Dalam putusan No.: 675 K/Pid/1985 tanggal 4 Agustus 1987 yang memperbaiki putusan bebas (vrijspraak) dari Pengadilan Negeri Ende No.: 15/Pid.B/1984 tanggal 26 Maret 1985, MA telah memberi kualifikasi perbuatan pidana yang tidak menyenangkan yaitu: “Dengan sesuatu perbuatan, secara melawan hukum memaksa orang untuk membiarkan sesuatu.

Artinya, ada rangkaian perbuatan terdakwa yang bersifat melawan hukum yang melahirkan akibat, yaitu orang lain atau korban tidak berbuat apa-apa sehingga terpaksa membiarkan terjadinya sesuatu sedang dia (korban) tidak setuju atau tidak mau terjadinya sesuatu tersebut, baik karena dia tidak suka maupun karena dia tidak membolehkan terjadinya sesuatu tersebut; akan tetapi dia tidak mempunyai kemampuan fisik dan psikis untuk menolak, menghalangi, menghindar dari terjadinya perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut.

Demikian, semoga bermanfaat. Sekali lagi, kami sangat tidak menganjurkan Anda memakai cara kekerasan menghadapi orang tersebut.

Dasar hukum: 
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad)


0 komentar:

Post a Comment

berikan komentar anda